Pages

Feb 2, 2011

Biutiful (2011), mencari kedamaian menjelang akhir kehidupan








"It's all about love, fatherhood and guilt."

Sinopsis & resensi film "Biutiful (2011)" movie review 

Biutiful (2011), is a story of a man in free fall. On the road to redemption, darkness lights his way. Connected with the afterlife, Uxbal is a tragic hero and father of two who's sensing the danger of death. He struggles with a tainted reality and a fate that works against him in order to forgive, for love, and forever.

Starring: Javier Bardem, Maricel Álvarez and Hanaa Bouchaib
Director: Alejandro González Iñárritu
Runtime: 147 minutes
IMDb: Biutiful (2010) >> http://www.imdb.com/title/tt1164999/

7.6/10 (imdb.com rating)
6.3/10 (rottentomatoes.com rating)


Sinopsis & resensi film: Biutiful (2011) trailer & movie review
resensi film Biutiful
(2011) review poster


Film ini adalah cerita tentang Uxbal (Javier Bardem). Selain melakukan bisnis perdagangan gelap di Barcelona, Uxbal juga seorang ayah, kekasih, teman dan penyuka hal-hal mistis. Semua ini memberikan jalan panjang bagi Uxbal untuk mendapatkan pengampunan dan kedamaian karena Uxbal sudah merasa bahwa kematiannya semakin dekat. Biutiful (2011), mencari kedamaian menjelang akhir kehidupan.

Melihat bagaimana film ini dimulai dan pengalaman sinematis seperti apa yang telah dibawa oleh Inarritu dalam film-filmnya, tidaklah susah menebak bagaimana film ini akan berjalan. Konflik demi konflik yang terasa pelik terus memenuhi cerita. Sebelum "Biutiful", konflik dan penyampaian cerita yang terlalu terasa dibuat-dibuat dan dilebih-lebihkan adalah hal yang banyak dikeluhkan oleh berbagai penikmat film untuk karya-karya Inarritu. Yang luput dalam penilaian itu adalah pertimbangan "Amores Perros", "21 Grams", dan "Babel" (ketiga film ini tergabung dalam Death Trilogy dan menyampaikan cerita tentang satu insiden yang menyulut berbagai kejadian) sebagai film-film melodrama. Dalam genre ini, plot dibuat untuk menarik emosi yang meluap-luap. Meski kata "menangis" sangat identik dengan genre melodrama, tapi ini bukanlah efek yang ditargetkan oleh Inarritu. Ia ingin menghantam hati penonton dan menyisakan rasa sesak.

Sidney Lumet, sutradara dari berbagai film yang meraih status klasik ("12 Angry Men", "Dog Day Afternoon", "Network"), pernah berkata,"The characters in a well-written melodrama come out of the story." Inarritu sangat memahami pernyataan ini dan tahu persis bagaimana mengaplikasikannya dalam setiap karyanya. Dalam "Biutiful", karakter Uxbal memiliki tipikal yang sama dengan karakter-karakter dalam film Inarritu sebelumnya. Mereka melakukan tindakan yang mereka inginkan tapi sangat terganggu dengan perasaan yang mengganjal ketika melakukannya. Karakter-karakter lain dalam "Biutiful" juga menyimpan ironi yang sama. Tapi, Uxbal, sebagai pusat peredaran dari ironi ini, merespon perasaan janggal itu dengan hati nurani. Saya tidak bisa menganggap konflik yang menyerang Uxbal sepanjang film sebagai sesuatu yang berlebihan ketika saya sendiri pernah menyaksikan seorang yang saya sayangi dibuat babak belur dengan permasalahan hidup dari segala arah yang berbeda.

Bagaimana caranya Inarritu mengarahkan aktor-aktornya? Mereka selalu menampilkan emosi humanis yang luar biasa. Lebih dari itu, aktor-aktornya selalu bisa bekerja sama dengan baik dalam membangun emosi setiap adegan. Javier Bardem sebagai Uxbal mungkin adalah salah satu aktor yang memberikan penampilan paling memukau dalam filmografi Inarritu. Ketika karakternya didera oleh konflik pelik, Javier Bardem justru menyampaikan emosi Uxbal dengan kehalusan yang membuatnya seolah-olah hampir tidak berakting. Setiap adegan seperti disusun oleh refleks natural dari gestur dan mimik wajahnya. Rodrigo Prieto, yang sudah bekerja sama dengan Inarritu dalam keseluruhan film layar lebar Inarritu, tidak hanya berhasil menangkap kasar dan suramnya setiap set, tapi juga tatapan nestapa dari mata Javier Bardem.

Apa yang coba Inarritu sampaikan melalui "Biutiful"? Ini adalah satu bagian dari pertanyaan akan apa yang Inarritu coba katakan dalam setiap filmnya yang selalu padat akan masalah yang suram. Dalam "Amores Perros", Inarritu bercerita tentang kesetiaan yang dikhianati. Lalu, "21 Grams" bercerita tentang kesempatan kedua dalam hidup yang hanya dijalani sekali. Sedangkan, "Babel" mengeksplorasi persepsi dalam komunikasi yang dihantam oleh konflik fisik berupa bahasa, budaya, sosial, politik, dan keamanan. Sekarang, apa yang saya saksikan dari "Biutiful" ternyata adalah kisah tentang hidup sebagai perjuangan tanpa awal dan akhir.
Alenjadro Gonzalez Inarritu melihat manusia sebagai makhluk yang langsung memiliki misi begitu terlahir, entah itu berupa belajar berbicara atau pun mengunyah, dan akan terus berhadapan dengan misi-misi lain hingga ajal memanggil. Dunia lain yang bersinggungan dengan dunia kita akan selalu menjadi pengingat akan adanya perjalanan lain setelah kehidupan. Saat kita pergi meninggalkan hidup ini, satu atau lebih hal akan selalu tertinggal, entah itu berupa amanah, penyesalan, atau pun hanya secuil perasaan cemas akan orang-orang yang kita sayang.
Hidup yang dilihat sebagai sebuah perjuangan tanpa awal dan akhir adalah sesuatu yang pertama kali masuk ke dalam benak saya melalui film "Synecdoche, New York" karya Charlie Kaufman. Tanpa menilai kebenaran atau pun kesalahan pandangan ini secara berlebihan, sudut pandang ini memang bukan sesuatu yang mudah untuk disampaikan, apalagi dipahami. Tapi, lihatlah pekerjaan yang Anda sedang jalani, apakah pekerjaan itu akan habis suatu saat nanti? Atau mungkin hanya akan berganti wujud hingga saatnya Anda tidak lagi hidup. --disadur dari flickmagazine.net--

Source: imdb.com movieweb.com flickmagazine.net
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...