Pages

Sep 1, 2011

Stake Land (2010), sebuah perjalanan panjang menghindari pandemik vampire

sinopsis | resensi film | Stake Land (2010) | trailer | review

Stake Land (2010), tells us a story about Martin was a normal teenage boy before the country collapsed in an empty pit of economic and political disaster. A vampire epidemic has swept across what is left of the nation's abandoned towns and cities, and it's up to Mister, a death dealing, rogue vampire hunter, to get Martin safely north to Canada, the continent's New Eden.

Horror
DIRECTOR: Jim Mickle
STARRING: Connor Paolo, Nick Damici, Kelly McGillis, Danielle Harris, Michael Cerveris
RUNTIME: 98 min
COUNTRY: USA



6.4/10 (Rotten Tomatoes)
6.7/10 (IMDb)

Stake Land (2010) Trailer 

sinopsis | resensi film | Stake Land (2010) | trailer | review

"The most dangerous thing is to be alive."

Stake Land. Mmm.. jika judul film ini diartikan secara harfiah kurang lebih mempunyai arti 'negeri taruhan', namun dilain sisi kata stake juga dapat berarti 'pasak'. Dengan poster film yang berbau gory plus cipratan darah disekelilingnya, ditambah dengan latar sebuah kota yang hancur dibelakangnya. Ya, sesuatu yang bertemakan 'kematian', 'chaos', maupun 'akhir dari dunia' sudah cukup menggelitik diri saya untuk mencoba mencicipi film ini. Oke, maka perjalanan pun dimulai.

"We were on our own now. Me and Mister. Traveling through a ruined land." ~Martin

Film diawali dengan adegan sebuah mobil yang melintas di samping padang rumput yang sepi. Didalamnya terdapat dua orang, tua dan muda. Seorang tua itu seketika melepaskan tiga tembakan kearah jok belakang mobil, sambil diiringi sebuah narasi oleh seorang muda yang bernama Martin (Connor Paolo), seorang anak remaja tanggung yang belum lama kehilangan kedua orang tuanya yang dihabisi oleh sesosok vampire-zombie. Vampire-zombie? Ya, setidaknya itu merupakan interpretasi pribadi yang saya tangkap saat melihat para 'vamps' beraksi dikegelapan malam. Kisah Martin tidak jauh berbeda dengan nasib segenap warga Amerika Serikat yang menjadi 'korban' dari kolaps-nya sebuah negeri karena kejatuhan ekonomi dan politik, yang kemudian diperparah dengan merebaknya pandemik vampire dipenjuru negeri. Kota-kota besar diceritakannya telah hancur dan mati. Mati karena penyebaran pandemik vampire yang subur dan sangat cepat. Sedangkan para penduduk yang masih tersisa banyak yang berusaha menyelamatkan diri ke daerah-daerah terpencil dipinggiran kota.

Martin bersama dengan seorang tua, perkenalkan ia adalah Mister (Nick Damici), seorang lelaki paruh baya dengan keberanian luar biasa yang menjadi penyelamat hidupnya di malam dimana orangtuanya terbunuh, berusaha bertahan hidup dari kekacauan yang ada. Berbekal pasak dengan latihan dan teknik mempertahankan diri dari serangan vampire yang diajarkan oleh Mister, serta bersama mobil antik tahun 60’annya, keduanya menempuh perjalanan panjang melewati pemukiman-pemukiman kosong, sisi kota yang hancur dengan mayat-mayat manusia dan vampire gosong yang bergelimpangan di sepanjang jalan. Sebuah perjalanan demi mencapai sebuah tempat di utara Amerika. Sebuah tempat yang dipercaya belum ‘terkontaminasi’ oleh chaos dan vampire, sebuah tempat pengharapan bagi para survivor.

Seiring perjalannya, satu demi satu mereka bertemu dengan para survivor lain seperti, Anna (Kelly McGillis), seorang suster malang yang mengalami tindak kekerasan dan mengalami krisis keyakinan. Belle (Danielle Harris), seorang wanita muda yang tengah hamil, serta Willie (Sean Nelson) seorang marinir. Bersama-sama mereka berusaha bertahan hidup malam demi malam, bukan hanya dari kawanan vampire namun juga dari ancaman sekte sesat yang berkembang pesat dan menguasai daratan Amerika disaat semua harapan dan keyakinan masyarakat telah sirna.


Merasa cukup familiar dengan plot cerita diatas? Hampir sebagian besar film-film bertema post-apocalyptic apalagi yang menyertakan unsur-unsur zombie, vampire, maupun pandemik virus ganas lain didalamnya, hampir semuanya memiliki jalan cerita yang mirip. Ya, film-film yang mengusung tema zombie/vampire outbreak terkadang memang tetap menarik untuk dinikmati. Masih teringat dalam benak kita film I Am Legend (2007) yang dibintangi oleh Will Smith dengan tema serupa namun dalam setting yang berbeda yaitu diantara gedung-gedung pencakar langit, atau mungkin yang full action seperti franchise Resident Evil. Lalu apa yang ditawarkan oleh film ini? Tidak ada yang benar-benar baru dari film yang disutradarai oleh Jim Mickle ini, sutradara yang juga dikenal dengan film zombie lainnya, yaitu Mulberry Street (2006). Sang sutradara pun total baru menyutradarai 3 film termasuk didalamnya film low-budget ini. Namun jangan juga terburu-buru men'judge' film ini hanyalah sebuah "just another zombie-like movie".

Alur cerita didalamnya cenderung berjalan lambat, namun tetap terasa mengalir enak beriring dengan narasi dari Martin dan pas terangkum dalam 90 menit film ini. Adegan-adegan teror didalamnya digarap dengan cukup apik, overall tidak berlebihan, hanya ada yang aneh dengan raungan vampire-nya yang terdengar dibeberapa scene seperti auman singa, dan di beberapa scene para vampire terlihat lamban dan kurang agresif persis layaknya zombie di film pada umumnya. Beberapa bagian diawal yang sempat membuat kaget seperti saat momen flashback insiden dihabisinya kedua orangtua dan adik bayi Martin didalam garasi oleh vampire yang entah tiba-tiba muncul darimana. Demikian pula saat seorang vamps wanita tiba-tiba menyerang secara beringas kearah Martin dan Mister yang mencoba melarikan diri dengan mobil antiknya dari basecamp sekte sesat pimpinan Jebedia Loven (Michael Cerveris), mengingatkan saya sekilas pada adegan pamungkas di Rumah Dara (2010).


Dialog yang ada pun mengalir dan terdengar seperti semestinya. Di film ini kita tidak akan menemukan dialog-dialog annoying plus bawelan dari karakter cerewet dan sok berani yang biasanya muncul dalam film-film horor kebanyakan. Dari jajaran cast yang notabene masih cukup baru terdengar di telinga saya, hanyalah akting dari Paolo dan Damici yang menurut saya memang menonjol dan pas dengan karakter yang dimainkan. Paolo sukses memerankan seorang anak remaja yatim piatu yang bisa mempertahankan sikap 'ke-innocence-an' melalui gesture, dialog juga melalui narasinya dalam film, walaupun dia beberapa kali berhasil membunuh vampire. Sedangkan Damici pas dalam membawakan sosok Mister sebagai 'ayah dadakan' -jikalau saya boleh menyebutnya begitu- yang begitu care terhadap Martin, dibalik sikap aslinya yang arogan dan cuek. Dari segi teknis pun saya cukup puas dengan sinematografi yang ada. Kesan kesedihan, kesepian, dan kehilangan, benar-benar terasa dengan variasi tone gambar dari yang bluish sampai ke tone natural yang membumi. Beberapa adegan dan scenery pun terpapar dengan angle kamera yang cukup apik. Ditunjang dengan scoring yang pas oleh Jeff Grace, yang pernah terlibat dalam departemen musik ke semua film The Lord of The Rings, dengan lantunan-lantunan musik yang menambah kesan bagi film ini.

Untuk sekelas film berbujet rendah yang kabarnya hanya sekitar $600,000, Stake Land jelas mempunyai nilai tersendiri. Ketika awal menonton pun saya tidak berekspektasi apa-apa. Jangan bayangkan film ini penuh adegan action dengan banyak CGI disana-sini, atau mungkin dengan karakter-karakter keren dengan cewek seksi didalamnya. Film ini terasa lebih 'down to earth', lebih manusiawi, cukup jarang terdengar ada letusan-letusan senjata api, karena kembali lagi seperti judul filmnya, sang survivor lebih banyak mengandalkan pasak dalam mempertaruhkan nyawanya. Jika bisa saya gambarkan film ini layaknya Zombieland (2009) tanpa humor, namun dengan vampire didalamnya.

sinopsis | resensi film | Stake Land (2010) | trailer | review


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...